Banda Aceh – Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki tahun 2005 menjadi titik balik sejarah Aceh. Kesepakatan itu membuka jalan baru setelah lebih dari tiga dekade konflik. Namun, menjaga perdamaian bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan keberanian, ketulusan, dan sosok-sosok yang hadir di tengah masyarakat.
Salah satu sosok itu adalah Aipda Rosita Rahayu, satu-satunya polisi wanita (Polwan) dari Polda Aceh yang bergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM). Misi internasional ini bertugas memantau implementasi MoU Helsinki pascakonflik.
Polwan Humanis di Tengah Sisa Konflik
Saat itu, Rosita masih berpangkat Bripda dan bertugas di bidang Intelkam. Ia ditempatkan di daerah rawan seperti Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh Timur. Hampir setiap hari, ia menyusuri desa, berdialog dengan warga, dan memastikan butir-butir damai berjalan.
“Waktu itu, rasa takut kami kubur dalam-dalam. Yang penting Aceh damai, masyarakat aman,” kenang Rosita atau akrab disapa Oci.
Bekerja di bawah komando Kombes Pol Arief Wicaksono—kini Ketua Harian Kompolnas—dan Iptu Muhayat Effendi yang kini Wakapolres Aceh Utara, Oci menegaskan bahwa pendekatan humanis adalah kunci meredakan ketegangan. Sebagai satu-satunya Polwan, ia juga menjadi jembatan membangun kembali rasa percaya antara masyarakat dan negara.
Pengabdian yang Tidak Pernah Padam
Kini, hampir dua dekade berlalu, Rosita masih mengabdi di Polri. Bertugas di Bidang Humas Polda Aceh, ia tetap menjaga semangat menjembatani institusi dengan masyarakat melalui informasi yang akurat dan komunikasi yang sehat.
Atas kiprahnya, Kompolnas menganugerahkan piagam penghargaan kepada Rosita. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Ketua Harian Kompolnas, Drs. Arief Wicaksono, di Aula Machdum Sakti Polda Aceh, Selasa (23/9/2025).
Selain Rosita, penghargaan juga diberikan kepada Kompol Muhayat Effendie, AKP Maijoni, AKP Aziz, serta dua ASN Pemprov Aceh, Ir. Muklis dan Fatma Baiduri.
Bagi masyarakat yang mengenalnya, Rosita adalah wajah Polri yang humanis: hadir bukan dengan senjata, melainkan dengan keberanian untuk mendengarkan dan merangkul. Ia bukan hanya saksi damai Aceh, tetapi bagian dari perubahan itu sendiri. Dari jejaknya, kita belajar bahwa kekuatan sejati lahir dari ketulusan hati.