Banda Aceh — Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) kembali diterpa isu bongkar pasang manajemen. Pasca pencopotan Abdul Manan dari jabatan Wakil Kepala BPKS dan digantikan T. Hendra Budiansyah pada 4 Agustus 2025, muncul gerakan diam-diam untuk mengembalikan Abdul Manan ke jajaran pimpinan. Ada misi apa?
Informasi yang beredar menyebutkan adanya surat rahasia bernomor R/149.1/HM.03.02/VIII/2025 tertanggal 5 Agustus 2025 terkait rekomposisi manajemen. Rekomposisi ini disebut mengusulkan Abdul Manan menempati posisi Deputi Umum, menggantikan Fajran Zain. Posisi Deputi Umum dianggap strategis karena setara dengan Sekretaris Utama yang berperan vital dalam mengendalikan arah kebijakan internal lembaga.
Selain itu, nama T. Ardiansyah juga diusulkan untuk posisi Deputi Komersil dan Investasi. Langkah ini dinilai sebagai upaya penguasaan hegemonik lembaga.
Gerakan diam-diam juga dilakukan dalam mereposiai jajaran Dewan Pengawas. Munawar Liza Zainal akan digantikan dengan Muhammad Isa, meski menuai sorotan terkait potensi konflik kepentingan karena hubungan kekerabatan.
Anggaran Minim, Kinerja Seret
BPKS yang berdiri sejak 2000 sebenarnya memiliki mandat strategis untuk mengelola, membangun dan mengembangkan kawasan Sabang. Namun, catatan kinerja jauh dari harapan.
Dalam rentang 2003–2024, pemerintah telah mengucurkan investasi sebesar Rp. 4,831 triliun. Namun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) total yang dihasilkan dalam rentang waktu itu hanya mencapai Rp48,71 miliar, atau setara 1,01 persen dari total investasi. Bandingkan dengan kawasan lain seperti BP Batam, BPKS tentu jauh tertinggal.
Minimnya PNBP juga berdampak pada turunnya dukungan anggaran. Pagu 2025 hanya menembus Rp. 27 miliar, disebut sebagai “pagu efisiensi” yang membatasi ruang gerak lembaga. Sementara DIPA 2026 hanya senilai Rp. 36,4 miliar juga dinilai belum cukup untuk menopang ekspansi kegiatan strategis.
Masalah Struktural dan Tata Kelola
Sejumlah faktor disebut menjadi penyebab BPKS belum mampu berkontribusi maksimal.
Pada Aspek Tata Kuasa perlu adanya pelimpahan kewenangan perizinan yang total, harmonisasi regulasi antara UU 37/2000, UU 11/2005, dan UU Cipta Kerja, insentif investasi yang terbatas, dan linierisasi RENSTRA pembangunan kawasan.
Pada Aspek Tata Kelola perlu adanya optimalisasi dan diversifikasi pendapatan, peningkatan kapasitas SDM, serta menghilangkan politicking dalam tubuh manajemen.
Poin terakhir ini dianggap menjadi kunci yang memperparah lemahnya kelembagaan BPKS. Politisasi internal bukan hanya memicu konflik elit, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan pemerintah pusat sehingga dukungan anggaran terus menurun.
Praktik bongkar pasang manajemen di BPKS bukan hal baru. Namun, dinamika terkini berlangsung dalam hitungan bulan dan dinilai sarat kepentingan kelompok.
Situasi ini membuat stabilitas kelembagaan rapuh. Staf kesulitan bekerja dengan arah yang jelas, sementara kepercayaan investor semakin menipis. Publik pun mempertanyakan: apakah polemik ini berkaitan dengan proyek strategis yang sedang berjalan atau sekedar berebut “manisan” yang akan masuk ke Sabang
Seruan Publik
Para Deputi BPKS menyerukan agar dinamika internal tidak lagi dikendalikan oleh kepentingan elit. Ulama, tokoh masyarakat, dan warga Sabang diminta ikut mengawal agar lembaga ini kembali pada mandat awal: membangun Sabang demi kesejahteraan rakyat Aceh dan Indonesia, bukan sekadar alat perebutan kepentingan politik sesaat.
BPKS genap berusia 25 tahun, namun kontribusinya belum sebanding dengan investasi besar yang dikucurkan. Alih-alih memperkuat kapasitas dan tata kelola, lembaga ini justru sibuk dengan bongkar pasang elit. Jika politicking tak segera diselesaikan, BPKS berpotensi terus stagnan dan kehilangan relevansi di mata pusat maupun investor.