Banda Aceh – Di bawah terik matahari Banda Aceh, suara seorang perempuan tiba-tiba memecah kerumunan. Namanya Sri Wahyuni. Tubuhnya tampak kecil di tengah lautan massa, tetapi kata-katanya menusuk jantung siapa pun yang mendengarnya.
Ia bukan sekadar perwakilan masyarakat. Ia adalah korban konflik, saksi hidup dari luka panjang Aceh yang hingga kini belum benar-benar sembuh. Dengan mata berkaca-kaca, ia berdiri di atas panggung sederhana, menggenggam pengeras suara yang nyaris bergetar bersama tangannya.
“Kemana lagi kami harus meminta hak kami?” suaranya meninggi, penuh amarah bercampur luka. “Hari ini banyak petinggi adalah mantan GAM, tapi mereka tidak ada yang mau membantu. Kami minta jawaban dari seluruh anggota dewan, jangan hanya berplesiran. Tuntutan kami jelas: Tegakkan HAM dan jalankan isi Perjanjian Damai Helsinki.”
Kerumunan hening sejenak. Lalu riuh tepuk tangan dan pekikan massa membahana, seakan menjadi gema dari rasa sakit yang sama: janji perdamaian yang terabaikan.
Orasi Sri Wahyuni adalah bagian dari aksi yang digelar Aliansi Rakyat Aceh bersama ratusan masyarakat di depan Gedung DPRA, Senin (1/9/2025). Massa menuntut reformasi internal DPRA, reformasi Polri, menolak pembangunan batalyon baru di Aceh, serta pengusutan tuntas pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya Aceh.
Bagi Sri Wahyuni, tuntutan itu bukan sekadar kalimat politik. Itu adalah jeritan batin seorang ibu, seorang anak, seorang istri—yang keluarganya pernah hancur oleh konflik. “Kami sudah menunggu terlalu lama,” ucapnya dengan suara bergetar. “Luka kami tidak pernah sembuh, dan janji damai itu harus ditepati.”
DPRA Janji Sampaikan Tuntutan
Menanggapi aksi tersebut, Ketua DPRA, Zulfadli, turun langsung menemui massa. Ia bahkan ikut membacakan tuntutan mahasiswa dan perwakilan masyarakat, sebelum menandatangani surat berisi daftar aspirasi tersebut.

“Kami mendengarkan suara rakyat dan mahasiswa, dan akan menyampaikan tuntutan ini ke forum resmi DPR Aceh serta pemerintah pusat,” ujar Zulfadli di hadapan peserta aksi.
Perjanjian damai Helsinki pada 2005 pernah dianggap sebagai babak baru bagi Aceh. Namun, bagi banyak korban konflik, termasuk Sri Wahyuni, janji damai itu belum sepenuhnya dirasakan. Hak-hak korban masih terabaikan, dan keadilan yang dijanjikan tak kunjung hadir.
“Perdamaian sejati bukan hanya soal senjata yang disimpan,” ujar Sri Wahyuni. “Tetapi tentang keadilan yang ditegakkan, hak yang dipulihkan, dan suara korban yang benar-benar didengar.”
Aksi yang berlangsung sejak pagi hingga sore itu sempat diwarnai ketegangan. Kericuhan hampir pecah ketika massa meminta izin bermalam di gedung DPRA. Namun, permintaan itu ditolak aparat sehingga terjadi gesekan kecil. Aparat berhasil memukul mundur pendemo hingga keluar dari area gedung, dan situasi kembali kondusif.