LamanNews — Pemerintah Indonesia Gantung Status Bencana Nasional, Elemen Sipil Aceh Desak Jalan Politik Alternatif
Aceh kembali berada di persimpangan sejarah. Delapan hari setelah banjir dan longsor melumpuhkan sebagian besar wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, Pemerintah Indonesia belum juga menetapkan status darurat bencana nasional. Sementara waktu berjalan, ribuan warga tetap terisolasi, dan bantuan yang dijanjikan negara berhenti di bandara—terperangkap oleh minimnya armada udara dan infrastruktur darat yang porak-poranda.
Di tengah situasi genting ini, suara publik mulai membesar. Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh, Alfian, menilai pemerintah telah gagal menjalankan kewajibannya untuk melindungi warga negara dalam kondisi krisis kemanusiaan yang terang-benderang di lapangan.
“Ini bukan soal gengsi nasional. Ini soal nyawa. Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat berhadapan dengan bencana berlapis, dan pemerintah masih membiarkan status mengambang,” ujarnya.
Alfian tak berhenti di situ. Ia menyebut bahwa jika Pemerintah Indonesia tetap berdiam diri, Aceh harus mempertimbangkan jalan politik yang lebih tegas, termasuk evaluasi hubungan Aceh–Jakarta melalui mekanisme referendum.
Menurutnya, ketidakpedulian negara tampak jelas dari carut-marutnya distribusi bantuan. Logistik menumpuk di bandara—tidak bergerak karena pemerintah tidak memiliki cukup helikopter untuk menjangkau titik-titik terparah. Setelah banjir, Aceh kini menghadap bencana berikutnya: kekurangan pangan, akses kesehatan terbatas, dan ancaman kematian akibat isolasi berkepanjangan.
“Di depan mata pemerintah, rakyat menghadapi kelaparan. Ini bukan lagi kegagalan teknis; ini kegagalan moral,” katanya.
Alfian menilai pemerintah seperti lebih peduli pada kalkulasi politik ketimbang rasa kemanusiaan. Penolakan bantuan asing semakin memperburuk situasi. “Kalau negara tidak siap, biarkan dunia internasional membantu. Ini bukan ujian prestise.”
Dalam kondisi ini, wacana referendum kembali mengemuka. Bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai seruan evaluasi menyeluruh atas hubungan yang dirasa tidak seimbang.
“Jika negara tak peduli, Aceh harus bicara. Kita tidak bisa terjebak dalam hubungan yang hanya memberatkan satu pihak,” tambahnya.
Krisis kali ini tidak hanya menguji kesiapan negara menghadapi bencana, tetapi juga menguji kualitas relasi politik yang telah dibangun selama dua dekade terakhir. Aceh menunggu langkah negara. Waktu terus berjalan. Dan sejarah selalu mencatat siapa yang hadirdan siapa yang memilih berpaling.





