Pidie Jaya, Kabupaten yang lahir dari semangat reformasi dan cita-cita otonomi daerah ini kini berdiri di persimpangan sejarahnya sendiri. Dua dekade lebih setelah reformasi bergulir, geliat pembangunan fisik tampak di mana-mana. Jalan diperlebar, kantor pemerintahan berdiri megah, dan angka-angka pertumbuhan ekonomi terus dibacakan dengan penuh percaya diri.
Namun di balik gemerlap data pembangunan itu, ada sesuatu yang perlahan hilang: kebersamaan sosial yang dulu menjadi jiwa kehidupan masyarakat.
Krisis Kepedulian Kolektif
Salah satu simbol kesunyian sosial itu tampak pada vakumnya paguyuban mahasiswa Pidie Jaya — wadah yang dulu menjadi pusat konsolidasi moral dan solidaritas warga. Dahulu, di tempat inilah nilai gotong royong, kepedulian, dan musyawarah menemukan bentuknya. Elit dan rakyat berdialog, pemuda berinisiatif, dan masyarakat belajar saling menanggung beban. Kini, yang tersisa hanya nama dan kenangan.
Kondisi ini bukan sekadar masalah organisasi, tetapi cermin krisis sosial yang lebih dalam. Reformasi yang seharusnya memperluas ruang partisipasi sosial justru dalam banyak hal menciptakan euforia kebebasan tanpa arah — meninggalkan kekosongan moral di tingkat komunitas.
Mahasiswa asal Pidie Jaya, MJ Thabari, menyebut fenomena ini sebagai peringatan serius bagi generasi muda.
“Paguyuban yang vakum menandakan ada sesuatu yang hilang dari denyut sosial kita. Pidie Jaya tidak hanya butuh pembangunan fisik, tapi juga pembangunan jiwa kolektif,” ujarnya.
Rekonstruksi Jaringan Sosial yang Hilang
Dalam konteks ini, gagasan untuk merekonstruksi kembali paguyuban Pidie Jaya menjadi sangat relevan. Ini bukan soal romantisme masa lalu, tetapi langkah rasional untuk membangun ulang modal sosial (social capital) yang selama ini terabaikan.
Pidie Jaya memerlukan ruang sosial baru yang mampu menyalurkan energi muda, ide progresif, serta kepedulian moral yang kini tercerai-berai. Paguyuban masa kini harus menjadi arena dialog kritis dan produktif, tempat gagasan sosial, budaya, pendidikan, dan kemanusiaan bisa tumbuh dengan sehat.
Di era digital, paguyuban tak bisa lagi hanya hidup lewat pertemuan fisik. Ia harus bertransformasi menjadi komunitas virtual yang aktif dan inklusif, menjadi wadah yang hidup bagi generasi baru Pidie Jaya — yang berpikir global, tapi tetap berakar lokal.
“Kita tidak sedang membangkitkan masa lalu, melainkan menyusun ulang kesadaran sosial yang dulu menjadi kebanggaan orang Aceh. Kekuatan sejati masyarakat bukan pada kekuasaan dan modal, tapi pada rasa sepenanggungan dan semangat kolektif untuk maju bersama.”
Menyalakan Kembali Obor yang Padam
Pidie Jaya membutuhkan kebangkitan moral dan sosial, bukan hanya pembangunan infrastruktur. Dan kebangkitan itu hanya mungkin lahir jika kita berani menyalakan kembali obor paguyuban yang telah lama padam — kali ini dengan nyala yang lebih terang, lebih cerdas, dan lebih adaptif terhadap zaman.
Oleh: MJ Thabari



