Home / Editorial

Jumat, 12 Desember 2025 - 22:57 WIB

Bencana Aceh-Sumatera, Saat Kebijakan Jadi Pembunuh

Tragedi Bencana Ekologis Aceh-Sumatera di Indonesia. (Foto: Arsip)

Tragedi Bencana Ekologis Aceh-Sumatera di Indonesia. (Foto: Arsip)

Seribu Nyawa Hilang, Mengapa Tak Ada Pejabat Jadi Tersangka? 

LamanNews – Indonesia kembali dihantam tragedi yang mestinya mengguncang nurani kekuasaan. Tapi seperti biasa, negara hanya muncul saat peresmian, bukan saat penyelamatan. Yang lahir bukan tanggung jawab, melainkan drama panjang tanpa babak akhir.

Kita hidup di republik yang fasih membuat tagline “kemanusiaan”, namun gagap menuntaskan persoalan paling mendasar, siapa yang bertanggung jawab ketika rakyat mati?

1.000 Warga Aceh, Sumut, dan Sumbar Wafat. Bencana atau Tanda Tangan Kebijakan?

Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kehilangan 1.000 lebih warga akibat rangkaian banjir dan longsor. Seribu, bro — bukan angka kecil. Itu satu kota kecil yang hilang dari peta.

Yang paling menyakitkan adalah, bencana ini bukan sekadar hujan, bukan sekadar alam murka. Ini adalah bencana yang ditandatangani oleh pemerintah pusat melalui:

  • Izin pembalakan,
  • Operasi tambang yang semrawut,
  • Pembangunan tanpa kajian lingkungan,
  • Pembiaran terhadap deforestasi,
  • Lemahnya pengawasan tata ruang.
Baca Juga |  Konser Slank di Banda Aceh Batal, Dispora Aceh Cabut Izin Secara Sepihak

Ketika ekosistem hancur, air mencari rumah baru — dan rumah itu sering kali adalah kampung rakyat kecil.

  • Tetap tidak ada pejabat yang dicopot.
  • Tidak ada menteri yang dimintai pertanggungjawaban.
  • Tidak ada kepala lembaga yang ditahan.

Yang ada cuma rapat koordinasi darurat, foto-foto pejabat pakai rompi BNPB, konferensi pers, dan pernyataan “kita berduka”.

Apakah negara benar-benar berduka?
Karena yang terlihat justru negara sedang berkalkulasi, bukan berkontemplasi.

Negara Membangun Tanpa Bertanggung Jawab. Ini Penyakit Struktural

Kejadian ini menunjukkan pola yang menjijikkan, ketika rakyat mati, negara lebih sibuk menata citra ketimbang menata solusi.

Masalahnya bukan satu sektor, bukan satu pejabat, bukan satu kementerian. Ini penyakit kronis yang tumbuh dari kultur yang membuat pejabat merasa kebal hukum, selama mereka berada di dalam lingkaran politik yang aman.

Baca Juga |  Geger! Warga Temukan Jenazah Pria di Depan Masjid Raya Baiturrahman

Kenapa pejabat tak disentuh hukum?
Karena:

  • Yang tanda tangan izin adalah pejabat pusat,
  • Yang mengawasi proyek adalah orang-orang dekat elit,
  • Yang menentukan kebijakan ruang adalah kepentingan bisnis,
  • Yang seharusnya mengaudit justru bagian dari jaringan kekuasaan.

Mengadili satu Dirut atau mem-build ulang bukan solusi. Yang harus diperbaiki adalah sistem yang memungkinkan tragedi ini terjadi berulang-ulang.

Rakyat Sudah Lelah dengan Alibi “Ini Musibah”

Kata “musibah” sering dipakai pejabat sebagai cara elegan untuk cuci tangan. Padahal sebagian besar “musibah” itu lahir dari rekayasa kebijakan dan kelalaian negara sendiri.

Kalau bangunan roboh karena struktur abal-abal — itu kriminal.
Kalau banjir terjadi karena deforestasi legal — itu kebijakan kriminal.
Kalau pesantren ambruk tanpa audit — itu pembiaran kriminal.

Baca Juga |  Bea Cukai Catat 22 Ribu Penindakan Sepanjang 2025, Nilai Barang Rp6,8 Triliun

Rakyat butuh negara yang tak hanya hadir saat peresmian dan pose kamera. Rakyat butuh negara yang berani menunjuk hidung pejabat yang lalai.

Rakyat butuh negara yang menempatkan nyawa manusia di atas kepentingan politik.

Inilah Saatnya Publik Berhenti Diam

Tragedi demi tragedi menunjukkan bahwa keselamatan rakyat bukan prioritas. Yang diprioritaskan adalah stabilitas politik, kenyamanan pejabat, dan citra kementerian.

Karena itu, publik harus :

  • Mendesak investigasi independen atas bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar.
  • Mendorong pencopotan pejabat yang lalai.
  • Menolak narasi “musibah alam” jika akar masalah adalah kebijakan.

Negara tidak boleh lagi bersembunyi di balik retorika.

Nyawa rakyat bukan angka statistik.
Dan tragedi ini tidak boleh menjadi rutinitas tahunan.

Penulis : Arie Aseandi
LamanNews

Editor:

Share :

Baca Juga

Banjir bandang Aceh-Sumatera.

Editorial

Bencana Sumatera Layak Berstatus Nasional, Ini Dasar Hukumnya
Status bencana di gantung

Editorial

Ketika Darurat Nasional Digantung Tanpa Penjelasan
Anak sekolah di China menikmati makan siang gratis bergizi

Editorial

Perbandingan makan siang gratis China dan Indonesia
Aceh di Tengah Gelombang Rusuh Nasional, Menjadi Pemain atau Penonton?

Editorial

Aceh di Tengah Gelombang Rusuh Nasional, Menjadi Pemain atau Penonton?