Banda Aceh – Tim Survei Penilaian Integritas (SPI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kunjungan ke Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Jumat (3/10/2025). Pertemuan ini menjadi langkah penting membangun sinergi dalam pencegahan korupsi dan maladministrasi untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik di Aceh.
Sebelumnya, Ombudsman Aceh telah bekerja sama dengan Tim Monitoring Center for Prevention (MCP) KPK dalam mengawasi proses PPDBM (Penerimaan Peserta Didik Baru Madrasah) dan SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) tahun 2025.
Dalam pertemuan kali ini, kedua lembaga membahas hasil penilaian terhadap kinerja pemerintah daerah. Ombudsman Aceh memaparkan penilaian tahunan terhadap pemenuhan standar pelayanan di lima dinas layanan dasar dan dua puskesmas di 23 kabupaten/kota. Penilaian dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara dengan pelaksana serta masyarakat pengguna layanan.
“Dengan metode ini, hasilnya lebih objektif dan konkret, tidak hanya berbasis dokumen administratif, tetapi benar-benar menilai kepatuhan terhadap standar pelayanan sesuai UU No. 25 Tahun 2009,” jelas Kepala Ombudsman Aceh, Dian Rubianty.
Sementara itu, Tim SPI KPK memaparkan hasil Indeks Integritas Nasional 2024 yang menunjukkan sebagian besar daerah di Aceh masih memperoleh skor rendah.
“Koordinasi antar lembaga diharapkan dapat mempercepat perbaikan indikator yang masih merah,” ungkap Artha Vina, Auditor Madya sekaligus Ketua Tim Tindak Lanjut SPI KPK.
SPI KPK sendiri dirancang untuk mengukur risiko korupsi pada instansi pemerintah. Skor rendah menandakan perlunya pembenahan sistem, termasuk penyederhanaan layanan, transparansi informasi, dan tata kelola pengaduan yang lebih baik.
Menanggapi hal itu, Dian menyatakan komitmen Ombudsman untuk memperkuat sinergi dengan KPK.
“KPK dan Ombudsman mandatnya beririsan, sebab maladministrasi kerap menjadi pintu masuk praktik koruptif,” tegas Dian.
Ia menambahkan, kombinasi data SPI KPK dengan temuan Ombudsman, baik dari laporan masyarakat maupun investigasi, akan menghasilkan analisis yang lebih kuat. Hal ini penting bukan hanya untuk menghitung kerugian negara akibat korupsi, tetapi juga kerugian masyarakat akibat buruknya pelayanan publik.
Selain soal penilaian, kedua lembaga juga membahas pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju predikat WBK (Wilayah Bebas Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani). Ombudsman berkontribusi dengan data kepatuhan pelayanan publik, sementara KPK melakukan data clearance terhadap aspek integritas.
Melalui kolaborasi ini, KPK dan Ombudsman berharap perbaikan integritas serta pelayanan publik di Aceh dapat lebih terukur, terpantau, dan berdampak langsung bagi masyarakat.
“Kombinasi peran Ombudsman dan KPK membuat predikat ZI tidak hanya administratif, tetapi menunjukkan perubahan nyata di lapangan,” pungkas Dian.