Banda Aceh – Aliansi Rakyat Aceh (ARA) kembali menekan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar segera menindaklanjuti hasil aksi demonstrasi pada 1 September 2025. Desakan tersebut disampaikan dalam konferensi pers usai ARA menyerahkan surat permohonan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Senin (8/9/2025).
ARA menilai, hingga satu pekan pasca-aksi besar di Banda Aceh, belum ada langkah konkret dari DPRA meskipun pimpinan dewan telah menandatangani dokumen tuntutan di hadapan ribuan massa.

“Kami tidak ingin tanda tangan itu hanya jadi seremoni politik. Karena itu, hari ini kami resmi memasukkan surat permohonan RDPU yang kami minta digelar pada Kamis, 11 September 2025,” tegas perwakilan ARA.
Dalam aksi 1 September lalu, ARA menyampaikan tujuh tuntutan utama, antara lain:
- Reformasi internal DPR.
- Reformasi Polri.
- Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Aceh pascakonflik.
- Evaluasi menyeluruh terhadap izin dan dampak tambang di Aceh.
- Pembebasan aktivis yang ditangkap saat aksi sebagai wujud jaminan kebebasan berpendapat.
- Transparansi penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh sesuai amanat UUPA.
- Penolakan pembentukan Batalyon Teritorial baru di Aceh karena dinilai bertentangan dengan MoU Helsinki 2005.
ARA juga mengkritik pernyataan politikus yang kerap melempar isu pemisahan Aceh dari Indonesia. Menurut mereka, DPRA seharusnya fokus pada persoalan konkret seperti penuntasan pelanggaran HAM, kesejahteraan rakyat, serta pengelolaan anggaran.
“Isu pisah dari pusat jangan dijadikan komoditas politik. Mengurus hak-hak korban konflik saja belum mampu, apalagi bicara soal merdeka,” kata ARA dalam keterangan resminya.
ARA menegaskan akan terus mengawal realisasi seluruh tuntutan tersebut. Mereka juga mengingatkan agar DPRA tidak mengabaikan tanda tangan kesepakatan yang telah dibuat di hadapan publik.