”Negara WAJIB Bertindak Berdasarkan UU, Bukan Selera Politik”
LamanNews — Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, terutama di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan berskala luas.
Hingga 13 Desember 2025, jumlah korban meninggal dunia dilaporkan telah mencapai lebih dari 1.000 orang, disertai ratusan korban hilang, ribuan luka-luka, serta ratusan ribu warga yang harus mengungsi dari tempat tinggalnya. Fakta ini menuntut sikap negara yang tegas, terukur, dan berbasis hukum.
Dalam situasi dengan dampak sebesar ini, perdebatan mengenai penetapan status Bencana Nasional seharusnya tidak berlarut. Penetapan tersebut bukan sekadar keputusan administratif, melainkan instrumen hukum untuk memastikan kehadiran negara secara penuh dan terkoordinasi dalam melindungi keselamatan warga negara.
Landasan Hukum Penanggulangan Bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai tanggung jawab negara. Pasal 7 ayat (1) menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk penetapan kebijakan nasional penanggulangan bencana.
Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa penentuan status dan tingkat bencana dilakukan oleh pemerintah berdasarkan skala dampak bencana.
UU ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang mengatur bahwa penetapan status bencana mempertimbangkan sejumlah variabel objektif, antara lain jumlah korban, kerugian materiil, luas wilayah terdampak, serta dampak terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan.
Dengan demikian, penetapan status bencana nasional bukanlah persoalan preferensi politik, melainkan konsekuensi hukum dari terpenuhinya indikator-indikator tersebut. Begitu indikator terpenuhi, negara TIDAK BOLEH MENUNDA.
Korban Jiwa dan Prinsip Perlindungan Negara
Jumlah korban meninggal yang telah melampaui angka seribu jiwa menunjukkan bahwa ambang kemanusiaan telah terlampaui.
Dalam praktik penanggulangan bencana di Indonesia, peristiwa dengan jumlah korban yang jauh lebih kecil pernah ditetapkan sebagai bencana nasional. Oleh sebab itu, dari sisi korban jiwa saja, syarat objektif penetapan bencana nasional telah terpenuhi.
Selain korban meninggal, masih terdapat ratusan orang yang dinyatakan hilang dan ribuan lainnya mengalami luka-luka. Kondisi ini menuntut mobilisasi sumber daya kesehatan, logistik, dan kemanusiaan dalam skala nasional.
“Menunda penetapan = pengabaian prinsip perlindungan warga negara.”
Luas Wilayah Terdampak dan Dampak Sistemik
Bencana yang terjadi bersifat lintas wilayah administratif, melibatkan lebih dari satu provinsi. Dampaknya tidak hanya berupa kerusakan fisik, tetapi juga gangguan serius terhadap aktivitas ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, serta fungsi pemerintahan daerah.
Menurut Pasal 1 angka 3 UU 24/2007, bencana adalah peristiwa yang mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat secara luas. Ketika gangguan tersebut meluas lintas provinsi dan berdampak sistemik, maka kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat menjadi dominan.
Keterbatasan Kapasitas Daerah
Undang-undang secara eksplisit mengakui adanya kondisi di mana pemerintah daerah tidak mampu menangani bencana secara mandiri.
Pasal 50 UU 24/2007 menyebutkan bahwa dalam hal pemerintah daerah tidak mampu, pemerintah pusat mengambil alih penanganan bencana.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa beban bencana kali ini melampaui kapasitas fiskal dan operasional daerah. Penyaluran bantuan yang belum merata serta keterbatasan sarana dan prasarana menjadi indikator kuat perlunya pengambilalihan peran secara lebih tegas oleh pemerintah pusat.
Dimensi Konstitusional dan Hak Asasi Manusia
Penanggulangan bencana juga harus dilihat dalam perspektif konstitusi. Pasal 28A UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup, sementara Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas pelayanan kesehatan dan lingkungan hidup yang layak.
Dalam konteks bencana, keterlambatan atau ketidaktegasan dalam pengambilan keputusan strategis berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak dasar tersebut.
Penetapan status bencana nasional memberikan dasar hukum yang lebih kuat bagi negara untuk memastikan perlindungan hak-hak warga negara terdampak bencana.
Bencana Nasional sebagai Instrumen Kebijakan Publik
Status bencana nasional bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mempercepat dan memperkuat respons negara.
Status ini memungkinkan pembukaan akses anggaran darurat, percepatan mobilisasi lintas kementerian dan lembaga, serta penyederhanaan prosedur administratif dalam penanganan bencana.
Dalam konteks krisis kemanusiaan berskala besar, keterlambatan dalam penetapan status justru berisiko memperpanjang penderitaan korban.
Berdasarkan fakta empiris di lapangan, ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, peraturan pelaksanaannya, serta jaminan konstitusional dalam UUD 1945.
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya telah memenuhi seluruh kriteria hukum untuk ditetapkan sebagai Bencana Nasional.
Penetapan tersebut merupakan kewajiban negara untuk memastikan penanggulangan bencana berjalan secara terkoordinasi, efektif, dan berorientasi pada perlindungan hak-hak warga negara.
Dalam situasi darurat kemanusiaan, kejelasan status bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi bagi tindakan negara yang cepat dan bertanggung jawab.
Kesimpulan Hukum (Tidak Bisa Dibantah)
- Secara yuridis sudah memenuhi UU
- Secara faktual jumlah korban masif
- Secara administratif Bencana lintas provinsi
- Secara konstitusional, ini kewajiban negara
Bencana Di Aceh & Sumatera wajib ditetapkan sebagai BENCANA NASIONAL.
Jika tidak, Negara sedang melanggar undang-undangnya sendiri.
Penulis : Arie Aseandi
LamanNews





