Banda Aceh — Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mendesak Pemerintah Pusat segera menetapkan banjir besar yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah Sumatra sebagai bencana nasional. Desakan ini disampaikan menyusul temuan bahwa banyak korban pelanggaran HAM masa lalu kembali terdampak bencana hidrometeorologi, sehingga mengalami penderitaan berlapis.
Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, menyatakan pihaknya menerima banyak laporan dari korban pelanggaran HAM yang kini kembali kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan akses terhadap bantuan. Menurutnya, kondisi ini memperlihatkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan berkelanjutan kepada kelompok rentan.
“Kami menerima laporan bahwa korban pelanggaran HAM masa lalu kembali menjadi korban bencana hidrometeorologi Aceh saat ini. Mereka berkali-kali menjadi korban dari peristiwa yang berbeda,” ujar Masthur, Senin (15/12/2025).
Masthur menilai, penetapan status bencana nasional akan membuka ruang intervensi negara yang lebih luas dan cepat, terutama untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban yang hingga kini belum sepenuhnya direalisasikan sebagaimana rekomendasi KKR Aceh.
Ia mengingatkan bahwa pada 2022, Presiden Joko Widodo telah mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022, tiga di antaranya terjadi di Aceh. Selanjutnya, pemerintah juga membentuk Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) melalui Keppres Nomor 4 Tahun 2023, yang masa kerjanya berakhir pada Desember 2023.
Namun, menurut Masthur, keberlanjutan kerja-kerja pemulihan korban masih sangat lemah, terlebih dalam situasi bencana besar yang kini melanda Aceh. Karena itu, ia mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah strategis dengan meningkatkan status bencana menjadi nasional.
“Yang paling mendesak saat ini adalah penerbitan Keppres tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bencana Hidrometeorologi Aceh, atau bahkan Sumatra, dalam status bencana nasional,” tegasnya.
Masthur juga menyinggung pengalaman Aceh pascatsunami 2004 dan perjanjian damai Helsinki, ketika negara membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) sebagai instrumen khusus pemulihan. Menurutnya, skala kerusakan akibat banjir besar saat ini tidak mungkin ditangani Aceh sendirian.
“Melihat kondisi kerusakan yang terjadi, negara akan sulit mengatasinya sendiri. Penanganan darurat saja masih terseok-seok, apalagi rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini membutuhkan keberanian politik dan keluasan hati Presiden untuk menetapkan Aceh dan wilayah Sumatra lainnya sebagai bencana nasional,” pungkas Masthur.
KKR Aceh berharap langkah tersebut dapat membuka akses bantuan nasional dan internasional, sekaligus memastikan pemulihan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi seluruh korban, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan.









