Banda Aceh – Aksi unjuk rasa ribuan masyarakat dan aliansi sipil yang digelar di depan Gedung DPR Aceh pada 1 September 2025 berujung pada kesepakatan. Setelah melalui diskusi dan negosiasi intensif, Ketua DPR Aceh menandatangani dokumen berisi tujuh tuntutan utama massa.
Dalam keterangan pers yang diterima redaksi, pihak aliansi menyebut penandatanganan tersebut menjadi langkah awal untuk perubahan di Aceh dan Indonesia. “Kami akan terus memantau implementasi dari kesepakatan ini dan memastikan bahwa tuntutan kami dipenuhi,” tegas perwakilan massa.
Adapun tujuh tuntutan yang diajukan meliputi:
- Reformasi DPR guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga legislatif.
- Reformasi Polri agar lebih profesional dan dipercaya publik.
- Penyelesaian kasus pelanggaran HAM, khususnya di Aceh.
- Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tambang di Aceh.
- Pembebasan peserta aksi yang ditangkap.
- Transparansi penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh.
- Penolakan penambahan Batalyon Teritorial di Aceh yang dinilai bertentangan dengan MoU Helsinki 2005 dan UUPA.
Selain penandatanganan, massa juga menegaskan akan mengawal kesepakatan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Forum ini disebut sebagai ruang kontrol publik agar implementasi berjalan transparan dan akuntabel.
“Kami berharap RDPU bisa memastikan teknis pelaksanaan sesuai dengan tuntutan. Perubahan ini harus benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Aceh,” ujar mereka.
Aksi pada 1 September sempat diwarnai penangkapan sejumlah demonstran. Namun, dalam tuntutannya, aliansi menekankan bahwa kebebasan berekspresi dan berkumpul harus dijamin sebagai hak konstitusional warga negara.