Banda Aceh — Gerakan Perempuan Aceh bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh resmi mengalihkan agenda puncak Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang sedianya digelar pada 11 Desember 2025. Keputusan ini diambil akibat kondisi Aceh yang masih dalam masa pemulihan pascabencana banjir bandang dan longsor yang melanda belasan kabupaten/kota.
Sebagai bentuk respons cepat, Gerakan Perempuan Aceh melaksanakan kegiatan “Sehari Bersama Penyintas” di Desa Babah Krueng, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, pada Rabu 10 Desember 2025).
Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Rukiyah Hanum, mengatakan keputusan pembatalan kegiatan puncak dilakukan demi mengutamakan kemanusiaan.
“Ini prioritas kemanusiaan. Solidaritas sosial adalah prinsip yang kami pegang,” kata Hanum, Kamis, 11 Desember 2025.
Babah Krueng merupakan salah satu wilayah yang mengalami kerusakan paling berat. Ketinggian air mencapai lebih dari tiga meter, merusak rumah warga, fasilitas publik, dan memaksa penduduk mengungsi ke meunasah hingga titik aman terdekat.
Dalam kegiatan Sehari Bersama Penyintas, para relawan memasak di dapur umum LSM Paska Aceh dan menyalurkan makanan siap saji ke posko-posko. Selain itu, mereka menyerahkan bantuan berupa mukena, pakaian layak pakai, air mineral, serta membersihkan meunasah yang digunakan sebagai tempat mengungsi.
“Kami juga menghibur anak-anak dengan permainan edukatif. Selain anak, perempuan dan lansia yang merupakan penyintas konflik juga menjadi perhatian,” lanjut Hanum.
Kepala UPTD PPA Aceh, Endang Mulyani, mengungkapkan adanya praktik baik dari warga Babah Krueng terkait perlindungan anak di situasi darurat. Para ibu menempatkan anak perempuan di bagian tengah ruang tidur sementara mereka menjaga dari sisi pinggir.
“Cara sederhana ini bisa ditiru posko lain,” ujarnya.
Sementara pegiat HAM dan seni, Oni Imelva, menegaskan perlunya memastikan layanan berbasis gender seperti sanitasi, pakaian dalam, pembalut, serta ruang aman bagi perempuan dan anak di setiap posko pengungsian.
Oni menambahkan bahwa masyarakat Pidie Jaya mengalami trauma berlapis akibat berbagai bencana dalam satu dekade terakhir—mulai dari gempa 2016, pandemi COVID-19, hingga banjir bandang dan longsor saat ini. Belum termasuk trauma masa konflik bersenjata.
Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, berharap perempuan penyintas terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pemulihan pascabencana.
Gerakan Perempuan Aceh juga menjadikan kegiatan ini sebagai “Ruang Bercerita” untuk menghimpun pengalaman perempuan, lansia, penyandang disabilitas, dan anak dalam menghadapi bencana. Informasi tersebut direncanakan menjadi bahan penyusunan program pemulihan psikososial yang inklusif dan berkelanjutan.
Hanum menegaskan pentingnya data terpilah gender di masa tanggap darurat.
“Ini syarat penting agar bantuan tepat sasaran dan perlindungan bagi kelompok rentan bisa dipastikan,” ujarnya.
Gerakan Perempuan Aceh juga mengapresiasi berbagai inisiatif masyarakat dan pemerintah, termasuk gerakan “Warga Bantu Warga” dan respons pemerintah kabupaten/kota terdampak.









