Editorial
Program makan siang gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan populer di berbagai negara. Di Indonesia, program ini baru dijalankan dengan klaim sebagai terobosan besar untuk meningkatkan gizi anak sekolah. Namun, perbandingan dengan China justru memperlihatkan betapa jauhnya efektivitas implementasi antara kedua negara. Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa MBG di China bisa berjalan efektif, sementara di Indonesia tampak setengah hati dan penuh masalah?
Jawabannya bukan semata karena program di Indonesia masih baru, melainkan karena tata kelola kebijakan yang jauh berbeda.
Skala Anggaran. Perbandingan yang Jauh dari Setara

Mari kita lihat data anggaran. Produk Domestik Bruto (PDB) dan belanja negara China pada 2023 mencapai 2.937,8 miliar dolar AS, sedangkan Indonesia hanya sekitar 102,09 miliar dolar AS. Artinya, kapasitas fiskal Indonesia tidak sampai 3 persen dari China. Perbedaan ini menciptakan jurang dalam hal pembiayaan program sosial berskala nasional.

Namun, menariknya, China yang punya anggaran jauh lebih besar tidak serta-merta memberikan makan siang gratis kepada semua anak sekolah. Dari sekitar 291 juta anak sekolah di China, hanya 37 juta anak atau 12 persen yang mendapatkan program MBG. Bandingkan dengan Indonesia yang menargetkan 20 juta dari 50 juta siswa (40–50 persen). Secara politis, target Indonesia lebih bombastis, tetapi tanpa mempertimbangkan kapasitas anggaran dan kesiapan manajemen.

Presisi Kebijakan – Ilmiah vs Politis
Keberhasilan MBG di China bertumpu pada presisi kebijakan. Program ini hanya menyasar wilayah terpencil dengan indikasi kekurangan gizi yang nyata. Pendekatan berbasis data ilmiah memastikan bantuan tepat sasaran, sehingga anggaran yang digelontorkan benar-benar memberi dampak kesehatan dan pendidikan.
Di sisi lain, MBG di Indonesia kerap diposisikan sebagai alat kampanye politik. Alih-alih berbasis riset mendalam tentang kondisi gizi anak, kebijakan ini digeber secara nasional dengan target masif. Akibatnya, eksekusi tidak maksimal, distribusi tidak merata, menu tidak terstandar, dan implementasi masih jauh dari kualitas. Hingga kini, capaian baru sekitar 8 juta siswa dari target 20 juta.
Menu “Kelas Dunia” vs Menu Asal Jadi
MBG di China dirancang dengan standar menu yang terukur dan seimbang. Tujuannya jelas: meningkatkan gizi anak-anak yang berisiko kekurangan nutrisi. Hasilnya, program benar-benar menjadi investasi kesehatan jangka panjang.


Sebaliknya, di Indonesia, menu MBG sering kali seadanya, tanpa standar gizi nasional yang kuat. Laporan di lapangan menunjukkan banyak kasus ketidaksesuaian: mulai dari porsi kecil, mutu makanan rendah, hingga sistem distribusi yang tidak konsisten. Di sinilah terlihat bahwa program lebih sibuk mengejar angka ketimbang kualitas.
Politik Populis vs. Kebijakan Jangka Panjang
Perbedaan paling mendasar adalah orientasi kebijakan. Di China, MBG lahir dari hasil penelitian ilmiah dan dikelola sebagai kebijakan publik jangka panjang. Tidak ada nuansa politisasi kampanye yang menempel.
Di Indonesia, MBG sering dipromosikan sebagai “jualan politik”. Janji besar disampaikan dalam masa kampanye, tetapi implementasi tidak berbanding lurus dengan kapasitas negara. Akibatnya, program mudah dijadikan bahan kritik, bahkan dipandang sekadar “proyek pencitraan.”
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari China:
- Fokus Sasaran: Jangan memaksakan cakupan nasional jika kapasitas fiskal tidak mendukung. Fokus pada daerah dengan tingkat kekurangan gizi tinggi akan lebih efektif.
- Standar Nutrisi: Program harus punya standar menu nasional berbasis riset kesehatan. Tidak sekadar memberi makan, tapi memberi gizi.
- Profesionalisme Eksekusi: Tata kelola distribusi makanan harus dikelola oleh lembaga profesional, bukan sekadar kontraktor proyek politik.
- Kebijakan Berkelanjutan: MBG tidak boleh jadi kebijakan instan yang berakhir di periode politik tertentu. Harus jadi kebijakan jangka panjang yang konsisten.
Selama MBG Indonesia masih diperlakukan sebagai komoditas politik, hasilnya akan jauh dari harapan. China dengan anggaran besar saja hanya menargetkan sebagian kecil anak sekolah berdasarkan riset mendalam. Indonesia seharusnya belajar, kebijakan publik tidak bisa hanya jadi alat kampanye.
Jika ingin MBG benar-benar efektif, maka fokus pada kualitas, presisi sasaran, dan keberlanjutan jauh lebih penting daripada sekadar mengejar angka dan janji politik. Tanpa itu, program makan siang gratis di Indonesia hanya akan jadi jargon indah di atas kertas, bukan solusi nyata bagi generasi bangsa.